Apabila orang sudra mendengarkan kitab weda di baca, maka raja berkewajiban untuk memasukkan cor-coran timah & malam dalam telinganya, apabila seorang sudra membaca mantra-mantra weda maka raja harus memotong lidahnya, dan apabila ia berusaha untuk membaca weda maka raja harus memotong badannya (Gotama smarti: 12)
Teori adanya kasta di dalam sebuah agama dan kemudian di praktikkan dalam kehidupan sehari-hari adalah ada dalam agama Hindu. Jumlah kasta dalam agama hindu di taksir sekitar 2000 atau 3000. Semua kasta sebetulnya hanya berpangkal pada 4 golongan kuno dari suku-suku aria yg masuk dan menetap di India sejak 1500 thn sebelum masehi yaitu golongan brahmana atau padri, golongan kesatria atau bangsawan, golongan weisya yg terdiri dari para petani dan golongan sudra yg di isi oleh para budak/buruh. Di bawah golongan yg 4 sebetulnya masih ada 1 kategori lagi yaitu golongan paria atau apa yg di sebut "out cast", golongan paria adalah golongan yg tidak boleh di dekati atau mendekati golongan yg 4, tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan kasta yg lebih tinggi.
Begitu pula dengan ke 4 kasta yg di atasnya, masing-masing tidak boleh berhubungan begitu saja antara yg 1 dgn yg lainnya, misalnya di dalam perkawinan, seorang sudra tidak boleh mengawini seseorang dari kasta di atasnya. Tidak hanya dalam perkawinan, dalam praktek kehidupan sosial lainnya juga terjadi sekat-sekat yg demikian kuat antara 1 dan lainnya sehingga yg 1 tidak bisa menembus batas untuk berhubungan dgn yg lainnya, walaupun dalam perkembangannya, dgn pemahaman demokrasi yg makin lama makin membaik di india sana banyak yg tidak menerima lagi adanya pembatasan yg demikian.
Yg menjadi permasalahan adalah seorang Hindu secara individu maupun kelompok tidak bisa merubah sesuatu yg telah menjadi kerangka dasar dari agamanya jika memang agama Hindu sendiri melegalkan adanya praktek kastanisasi. Biasanya hukum "murtad" akan di sematkan pada orang yg berani mencoba merubah kerangka dasar dari agamanya. Menjadi seorang Hindu berarti harus menyadari dan menghormati tempatnya dalam masyarakat yg terbagi dalam kasta-kasta.
Sekarang kita beralih melihat agama Islam, Islam adalah agama yg mempunyai kerangka dasar kesederajatan seluruh manusia, dari mulai bangsawan tingkat tinggi sampai gembel yg paling rendah di pandang sama, yg membedakan hanya sejauh mana seseorang melakukan pengabdian yg maksimal terhadap Tuhan (taqwa), dan yg mengetahui siapa diantara manusia yg pengabdiannya lebih baik adalah Tuhan semata, hal demikian tidak bisa di katakan Tuhan melakukan kastanisasi terhadap manusia, Itu hanya merupakan konsekuensi dari perbuatan manusia. Kerangka dasar Islam seperti itu.
Mari kita lihat kehidupan sosial masyarakat Islam, pada kenyataannya banyak terjadi dalam masyarakat Islam praktek kastanisasi, seperti dalam Hindu, di dalam Islam juga contoh yg mudahnya adalah masalah perkawinan, karena memang perkawinan merupakan langkah awal bagi terjadinya segala teori hubungan sosial antar manusia. Kita ambil contoh di kalangan para habib atau syarif, jika perempuan di sebut habibah atau syarifah. Habib atau syarif adalah anak keturunan Nabi Muhammad saaw.
Pernah terjadi di mekkah sana, seorang pria berdarah arab biasa mengawini seorang wanita syarifah, mereka saling mencintai. Ketika berita perkawinan di dengar oleh para pembesar habib, mereka menentang keras perkawinan tersebut sampai para ulamapun turut menyelesaikan perkaranya, kemudian perkawinan di bubarkan setelah sebelumnya pengantin pria hampir di hakimi massa, ahirnya dia memilih untuk menceraikan istrinya.
Peristiwa seperti itu juga kerap terjadi di Indonesia, seorang syarifah yg ingin menikah dgn laki-laki jawa di tentang keras oleh keluarganya, tidak sampai di situ saja jika syarifah tetap melanjutkan hubungan dgn lelaki yg bukan dari kastanya itu ia akan di kucilkan, di usir atau bahkan tidak di akui lagi sebagai bagian dr keluarga, apapun alasannya tetap saja hal seperti ini di pandang sebagai kastanisasi nyata ras habib atas ras jawa. Yg cukup mengherankan ada diantara ahli agama yg memandang bahwa perkawinan yg melibatkan seorang syarifah dan laki-laki biasa akan berakibat pada putusnya jalur nasab, jadi perkawinan seperti itu tidak di perbolehkan malahan ada ulama yg "vulgar" mengatakan bahwa perkawinan seperti itu adalah haram walaupun di pandang dari segi hukum fikih perkawinan tetap sah.
Contoh di atas hanyalah salah 1 kasus, jika persoalan kasta ini di bawa ke area yg lebih luas, di kalangan islam yg bukan habib juga banyak terjadi praktek kastanisasi. Ada orang islam dari kasta kiyai yg seolah-olah berada di atas menara gading, tak tersentuh, ada yg dari kasta para muslim bangsawan yg seolah-olah berada dalam ruangan kaca, hanya bisa di lihat dari luar itupun jika gordennya tidak di tutup, ada kasta orang-orang muslim kaya yg seolah-olah dunia ada dalam kantong mereka saja dan adapula kasta orang-orang muslim miskin gembel yg tidak tahu nasibnya ketika bangun di pagi hari akan dapat hidup sampai sore atau tidak.
Belum pernah saya dengar ada muslim gembel kawin dgn anak muslim bangsawan atau kiyai tanpa ada penentangan yg keras dari pihak bangsawan atau kiyai itu, belum pernah saya lihat ada gubernur muslim bersalaman mesra sambil cium pipi kiri pipi kanan terhadap para muslim asongan seperti yg di lakukan pada sesama pejabat atau pada selebritis lainnya, belum pernah saya lihat ada orang muslim kaya yg menunduk hormat pada fakir miskin atas dasar kesadaran kemanusiaan kecuali jika ada pamrih-pamrih tertentu.
Ngudarasa itu akan terlalu panjang jika semua persoalan yg menyangkut kehidupan sosial masyarakat muslim di ketengahkan, fakta nyata memang banyak menegaskaskan adanya ketidak adilan sosial terhadap kasta kelas bawah yg di lakukan oleh kasta kelas atas.
Walhasil, masyarakat hindu sangat di mungkinkan dan bisa di pandang wajar dalam melakukan praktek kastanisasi karena memang aturan main agamanya seperti itu tapi jika masyarakat islam yg melakukan hal semacam itu, sungguh adalah merupakan pencideraan yg fatal terhadap islam yg memiliki konsep kesederajatan seluruh manusia apapun bentuknya. Islam memang agama yg menyamaratakan mahluk Tuhan tapi bohong besar jika ada yg mengatakan tidak ada kastanisasi dan pembedaan strata sosial dalam masyarakat islam.
Alhabib 'Abdullah bin alwi alhaddad dalam bukunya yg berjudul nashoih diniyyah menulis saran yg baik : inna tazkiyatan-nafsi wats-tsanaa-a 'alaiha wal-fakhro bil-aabaa-i min ahlid-diin, walfadhla wat-tabajjuha bin-nasabi, kullu dzaalika madzmuumum muqtabahun jiddan.
Menyanjung dan memuji diri, membanggakan nenek moyang yg termasuk ahli agama dan orang-orang utama serta menyombongkan darah keturunan, semua itu adalah tercela dan buruk sekali.
Imam 'Ali berkata tentang kejadian dan ahir dari manusia: awwaluhu nuthfah wa-akhiruhu jiifah.
Manusia awal jadinya dari setetes air mani dan pada ahirnya akan menjadi bangkai yg busuk.
Jika begitu kejadiannya apanya yg mesti manusia banggakan?