Jumat, 19 Desember 2008

Lahir, letih, kemudian mati.

Manusia satu persatu di lapukkan oleh zaman, begitulah keniscayaan yg terjadi. Dulu kita tiada, di sebabkan adanya percampuran benih kedua orang tua kita, kita menjadi ada. Di awali dari sebuah lorong yg gelap kita lahir kedunia dalam keadaan kecil dan telanjang tidak mengerti apapun, yg bisa di lakukan hanyalah menangis dan menangis. Kata orang tangisan bayi merupakan sebuah pertanda bahwa memang perjalanan hidup nantinya akan lebih banyak di hiasi oleh kesedihan dan kepedihan daripada kebahagiaan dan kesenangan.

Lambat laun dg di bawah asuhan kedua orang tua, sang bayi beranjak menjadi semakin besar, kemudian tanpa terasa tumbuh menjadi remaja, selang beberapa tahun menjadi dewasa, tua dan pada ahirnya mati. Realita demikian adalah niscaya pada semua manusia tanpa terkecuali, walaupun manusia melangkah dalam rangkaian takdir yg berbeda.

Pada zaman dulu ada seorang raja persia yg bernama zemire, tertarik dengan sejarah anak manusia dari zaman adam sampai masa dirinya hidup, maka di panggillah olehnya para pujangga yg ahli dalam menuliskan sejarah anak manusia. Beberapa waktu lamanya (20 tahun) para pujangga baru bisa menyelesaikan tugas yg di berikan sang raja, suatu hari tibalah waktunya mereka menghadap sang raja untuk menyerahkan hasil karya mereka, mereka datang dg satu iringan yg membawa 12 ekor unta, masing-masing unta datang dg membawa beban sejumlah 500 jilid buku sejarah anak manusia. Sungguh sebuah hal yg sulit dan mustahil bagi sang raja untuk dapat menyelesaikan bacaan yg demikian banyak itu sehingga muncul kembali titahnya agar menjadikan buku sejarah tersebut lebih ringkas, beberapa tahun kemudian selesailah proyek penulisan sejarah manusia yg ke 2 yg hanya di bawa oleh 3 ekor unta, namun sang raja kembali meminta buku-buku tersebut untuk lebih di ringkas lagi, begitulah seterusnya sampai suatu hari sang raja dalam keadaan terbaring sakit, raja menyesal karena dia belum sempat membaca keseluruhan buku tentang sejarah anak manusia sementara kematian sebentar lagi menjelang. Pada ketika itu menghadaplah salah seorang pujangga yg masih hidup diantara para pujangga yg menulis sejarah itu dengan membawa 1 buku tebal, sang raja tetap merasa tidak mampu untuk membaca seluruh isinya. Pada ahirnya sang pujangga berkata pada raja, yg mulia aku telah meringkaskan keseluruhan sejarah anak manusia untukmu hanya dg tiga kalimat..manusia lahir, menderita, kemudian mati.

Ya, manusia di lahirkan, letih dalam penderitaan dan kemudian mati. Itulah ringkasan sederhana dari seluruh kehidupan anak manusia, dari adam sampai cucunya yg terahir hidup di dunia ini. Tampaknya tidak ada yg bisa menyederhanakan kehidupan manusia seperti apa yg di sederhanakan oleh Tuhan dalam firmannya "Laqod kholaqnal-insaana fii kabadin, sesungguhnya manusia di ciptakan dalam keadaan susah payah. Q surah albalad: 4. Susah payah adalah kata lain dari letih.

Lihatlah, rasakan dan renungkan kehidupan manusia hari demi hari, tiada yg berbeda, berangkat di pagi hari untuk menjalani aktivitasnya, dan jika hari telah senja mereka pulang ke rumah kembali sambil membawa rasa letih, istirah sebentar di malam hari dan besok kembali akan bertemu dg keletihan yg baru, begitulah selanjutnya sampai tiba di suatu hari ketika ajal benar-benar telah menghentikan langkahnya. Ketika ada langkah yg terhenti berarti satu layar sejarah anak manusia telah di tutup dan akan berganti dg sejarah baru anak manusia lainnya yg persis sama, sama dalam keletihan.

Di suatu sudut tembok sejarah terpampang sebuah tulisan "kita ada di sini karena ada yg telah pergi", yg telah pergi itu adalah para orang tua, para nenek moyang yg telah lebih dahulu menjalani hari-hari yg meletihkan pada masa hidupnya dan keletihan akan terus di wariskan pada sejarah hidup anak-anak cucunya sampai usia dunia berahir, ternyata duniapun ikut merasa letih.

Seorang agnostis (atheis) berkata, untuk apa kita menjalani segala ritual ibadah yg meletihkan jika pada ahirnya tidak ada balasan apapun untuk kita karena jika kita mati kita hanya akan menjadi tanah. Saya berkata, ya tidak apa-apa kalau memang demikian adanya tapi kalau ternyata hari pembalasan itu benar-benar ada betapa ruginya dirimu hai agnostis, hidup di dunia yg cuma sebentar tapi meletihkan ini akan di susul oleh kehidupan abadi dengan keletihan yg lebih parah yg akan dirimu rasakan.

Demikian dan begitulah, biarlah segala keletihan kita rasakan selama hidup di dunia ini tapi sebisa mungkin kita berusaha untuk menjadikan segala keletihan tidak berahir dg sia-sia dg cara memperbanyak amal baik pada Tuhan dan sesama manusia. So, Tidak ada sesuatupun yg tidak di balas Tuhan, Tuhan tahu kita begitu letih menjalani kehidupan ini, jadi Tuhan juga tau cara menyediakan tempat yg nyaman untuk kita istirah dari segala keletihan itu, tempat yg nyaman itu adalah sorga.

Di dalam sorga ada segala sesuatu yg di inginkan oleh manusia. Keinginan manusia adalah bebas dari segala keletihan.

> Halaaah nglantur.