Kamis, 29 Januari 2009

Catatan pagi

Daripada mikir yang tidak-tidak lebih baik menulis walau sengawur apapun.

Komentar saya di situs Jaringan Islam Liberal dalam editorial yang di tulis Abd Moqsith Gazali, yang berkaitan dengan ultah NU yang ke 83 ternyata ada yang doyan juga untuk menanggapi. Dalam komentar tersebut saya memaparkaran fenomena dalam tubuh Islam, yang meniscayakan adanya keberbagaian Madzhab. Saya melegalkan adanya keberbagaian Madzhab setelah membaca adanya sinyalemen dari Hadits Rasul yang berbunyi "ikhtilafu ummati rahmatatun, perbedaan ummatku adalah rahmat. Hadits tersebut di riwayatkan oleh Nasar Al-Maqdisi secara marfu' dalam kitabnya yang berjudul Al-Hujjah, demikian juga Al-Baihaqy meriwayatkan dari Qosim bin Muhammad dalam Al-Madkhal dan Yahya bin Said meriwayatkan dari Umar bin Abd Aziz.

Sinyalemen ke dua adalah Hadits Nabi yang berbunyi "innakum fi zamanin man 'amila minkum 'usyro ma umiro bihi halaka, tsumma ya'-tii zamanun man 'amila minkum bi'usyri ma umiro bihi naja. Sesungguhnya kalian (sahabat) berada pada zaman di mana jika diantara kalian mengamalkan agama sebanyak 80% dari ajarannya maka kalian akan celaka, kemudian akan datang suatu zaman yang jika diantara kalian mengamalkan ajaran agama 20% saja maka kalian akan selamat. Hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Fitan Hadits nomor 192. Sinyalemen terahir dari Rasulullah ini meniscayakan adanya pergeseran kualitas keberagamaan umat islam dari yang paling sempurna seperti sahabat-sahabat Rasulullah, sampai keberagamaan yang asal beragama seperti yang terlihat pada kebanyakan orang di zaman ini, dengan kata lain seorang yang beragama islam sepeninggal Rasulullah tidaklah harus 100% mengikuti beliau dalam hal ibadah, ahlak, jihad, peneraman hukum dlsb.

Saya yakin seyakin-yakinnya siapapun dia adanya, sesuper apapun tingkat keislamannya tidak bakal mampu mengejar tingkat keislaman seperti Islamnya Rasulullah SAAW.