Hari jum'at kemarin, saya berkesempatan untuk memperbaiki Handphone saya yg rusak beberapa hari lamanya, saya berangkat dari rumah jam 9 pagi dan sampai di counter Handphone jam 10 pagi, ketika hari semakin beranjak siang saya mencari Masjid untuk melaksanakan shalat jum'at, saya berjalan kaki menyusuri jalanan pagongan menuju Masjid merah yg terkenal di kota Cirebon yg berada di daerah Panjunan, tetapi sayang kata orang-orang di sekitar situ Masjid merah tidak di pakai untuk shalat jum'at, terpaksa saya pergi dari Masjid merah untuk mencari Masjid yg lainnya yg di gunakan untuk shalat jum'at, setelah berputar-putar sebentar barulah saya menemukan sebuah Masjid yg bernama Masjid Al-syafi'i.
Melihat dari namanya sebelumnya saya menduga kalau di Masjid ini tentu dalam segala ritual ibadahnya akan merujuk kepada ajaran-ajaran Imam Syafi'i atau berpedoman kepada Madzhab Syafi'i, saya sempat gembira karena berarti saya akan berjum'atan dengan cara yg tidak berbeda dengan shalat jum'at di Masjid yg ada di kampung saya, maksudnya adzannya sama dua kali plus iqamah, Fatihahnya lengkap dengan Bismillahnya dan setelah shalat selesai ada dzikir berjamaahnya dll. Tetapi apa yg saya duga ternyata meleset, di Masjid Al-syafi'i adzan jum'at di lakukan satu kali, dalam membaca Fatihah Bismillahnya menghilang dan setelah shalat selesai para jamaah sibuk berdoa masing-masing kemudian satu persatu membubarkan diri keluar dari Masjid.
Saya memahami dan menyadari kalau di dalam Islam terjadi banyak perbedaan menyangkut banyak hal tak terkecuali dengan tata cara ibadah shalat jum'at, jadi hal yg seperti di atas tidak membuat saya mendongkol ataupun kecewa, yg penting shalatnya masih berkiblat ke arah Ka'bah dan dalam jumlah rokaatnya tidak terjadi penambahan ataupun pengurangan. Saya fikir mungkin yg mendanai pembangunan Masjid ini yg dominan adalah orang yg bernama Syafi'i jadi Masjidnya juga di namai sesuai dengan nama orang yg mendanainya, tidak ada sangkut pautnya dengan Madzhab Syafi'i.
Seperti biasa dalam setiap shalat jum'at yg saya hadiri, saya mencermati dengan saksama khotbah yg di sampaikan oleh sang khatib. Di kampung saya sendiri tidak ada satupun khatib yg menjadi favorit saya karena khotbah yg di sampaikan terlalu monoton dari itu ke itu saja, terlalu tekstual. Bahkan ada beberapa khatib yg membuat saya sebel karena berkhotbah seperti sedang membaca puisi-puisi Arab, tidak ada satu katapun bahasa Indonesia yg keluar dari mulutnya, saya memandangnya sebagai khatib yg egois dan keterlaluan, tidak memahami jamaah yg mendengarkan mengerti atau tidak yg dia khotbahkan, alih-alih mendapat pencerahan para jamaah malah pada tidur, bobo, ngorok dan lain-lain, memang ada juga jamaah yg memandang ke depan ke arah dimana khatib berdiri tapi dengan tatapan mata yg kosong tanpa arti, ada juga yg pura-pura manggut-manggut padahal saya yakin dia tidak mengerti, saya sendiri bingung mencerna kata-kata khatib itu karena kadang pengucapan kalimatnya tidak jelas seperti mendengung.
Saya sungguh heran dengan khatib arabiah itu, apa yg di fikirkannya dengan khotbah model seperti itu padahal inti dari khotbah adalah bukan untuk di dengar tok tapi juga agar para jamaah yg hadir bisa memahami dan mendapat pencerahan perihal Agamanya. Bagaimana mungkin jamaah akan mengerti dan mendapat pencerahan jika bahasa sang khatib tidak di mengerti, kasihan para jamaah yg awam itu yg untuk memahami khotbah berbahasa Indonesia saja terlihat susah payah, apalagi jika khobah di lakukan dengan memakai bahasa "Osama bin laden".
Saya ingin mengutip firman Tuhan dalam surah Ibrahim ayat 4; Wamaa arsalnaa min rasuulin illaa bi-lisaani qoumihii li-yubayyina lahum. Artinya: tidaklah Kami utus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya agar supaya mereka memahami segala penjelasan yg di sampaikan.
Seorang khatib ibarat Rasul yg berkhotbah di tengah kaumnya, jadi sudah semestinya bahasa yg di pakai sang khatib haruslah mengikuti bahasa kaumnya. Karena Yesus al-masih di utus di sekitar wilayah Palestina dan Israel maka bahasa yg di gunakan adalah bahasa ibrani, karena Muhammad SAAW di utus di wilayah Arab maka bahasa yg di gunakan tentunya juga dengan bahasa arab dan karena khatib-khatib yg ada di Jawa berkhotbah di daerah jawa maka seharusnya bahasa yg di gunakan untuk berkhotbah adalah bahasa jawa, begitu seterusnya dengan daerah-daerah yg lain.
Saya juga ingin mengutip sabda Nabi Muhammad SAAW agar seseorang berbicara menurut kadar kemampuan orang yg mendengarnya. Jika berbicara kepada banyak orang dengan bahasa yg tidak mereka mengerti itu adalah salah satu bentuk kesia-siaan, dzhalim dan termasuk kebodohan murakkab. Semoga Tuhan memberi hidayah pada para khatib yg berlaku demikian.
Kembali ke masjid Al-syafi'i, khotbah di Masjid Syafi'i Alhamdulillah memakai bahasa Indonesia yg Insya Allah akan dapat di mengerti oleh para jamaah yg hadir. Pada mulanya Saya terkesan dengan kefasihan sang khatib dalam menyampaikan muqaddimah dalam bahasa arab namun beberapa saat kemudian kekaguman saya berubah menjadi kekecewaan yg mendalam ketika khatib menyampaikan khotbahnya dengan tema Ahlus-sunnah wal jamaah dan lawan-lawannya. Khatib menjelaskan bahwa lawan Ahlus-sunnah secara umum adalah Syiah atau Rafidhah, khatib tidak mengerti kalau Syiah itu berbeda dengan Rafidhah dan lawannya secara husus adalah Ahlul-bid'ah atau Ahlul-hawa. Saya tidak begitu memperhatikan khotbah semacam itu yang hanya berisi caci maki yg tiada guna, selain itu juga khotbah semacam itu sangat tidak relevan dengan kondisi umat Islam saat ini yg begitu mendambakan persatuan dan kesatuan di tambah lagi dengan adanya perang yg tidak seimbang di timur tengah sana antara saudara-saudara muslim di Palestina dan yahudi israel yg telah menewaskan banyak muslim yg tiada berdosa. Ketika Ahmadi nejad yg syiah menyampaikan simpati yg mendalam terhadap muslim Palestina yg mayoritas Sunni, khatib di Masjid Al-Syafi'i justru mencaci maki Syiah, hal ini mengingatkan saya pada ketika Imam Khomaini yg Syiah menganjurkan pada para pengikutnya untuk selalu shalat berjamaah dengan saudara-saudaranya dari golongan Ahlus-sunnah wal-jamaah supaya tetap terjalin persatuan, sementara pada saat yg sama Al-jabrin yg merupakan salah seorang Ulama sunni-wahabi dengan tegas memfatwakan bahwa darah Syiah adalah halal hukumnya dan wanita-wanitanya haram untuk di nikahi. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Khatib di Masjid Al-syafi'i itu mungkin lupa bahwa segala caci maki yg di lontarkannya tidak akan merubah apapun yg berkaitan dg Syiah karena memang Syiah mempunyai aturan main sendiri dengan dalil-dalil atau hujjah-hujjah yg tidak bisa di anggap remeh dan kadang tidak bisa di bantah, sementara itu juga golongan Ahlul-bidah yg di tuduh khatib sebagai golongan sesat, itu juga hanya berdasar kepada asumsi khatib saja dengan mengacu pada pendapat Al-albani, Al-'utsaimin dan orang-orang yg semacamnya yg kadang menuduh dengan memakai tuduhan yg tidak kena mengena antara dalil dan madlulnya.
Khotbah semacam itu sangatlah absurd di pandang dari kebutuhan yg ada, saya yakin para jamaah yg hadir tidak datang ke Masjid hanya untuk mendengar caci maki semacam itu. Saya jadi teringat ketika membaca sejarah Muawiyah dan anak cucunya yg mencaci maki Ali selama 80 tahun sampai suatu saat ada seorang pemimpin yg saleh bernama Umar bin abd aziz menghentikan segala khotbah yg seperti itu dan mengahiri setiap khotbahnya dengan ayat Al-quran yg berbunyi; Innallaha ya'muru bil-'adli wal-ihsaan sampai ahir ayat. Khatib di Masjid Syafi'i juga menjadikan ayat itu sebagai penutup dari khotbahnya tetapi sayang caci maki terhadap golongan tertentu tetap tidak berhenti.
Saya mengakui kalau khatib di Masjid Al-syafii bukanlah satu-satunya khatib model begitu. Saya pernah shalat jumat di Jakarta, Bandung, Lampung, Palembang, Jambi, Ambon, Poso, Palu dan daerah-daerah lain yg pernah saya kunjungi, selalu saja ada khatib yg materi khotbahnya di penuhi caci maki. Ada yg mencaci maki faham Islam golongan tertentu, ada yg mencaci maki Ulama tertentu, ada yg mencaci maki artis bahkan ada juga yg habis-habisan mencaci maki pemerintah dengan gagahnya.
Menurut saya khotbah-khotbah seperti itu lebih pantas di masukkan ke dalam kategori khotbah-khotbah keranjang sampah, naif dan tidak berguna serta jauh dari pesan-pesan Taqwa. Bagaimana menurut Anda?