Hari-hari ini di manapun tempat di Indonesia hampir semua orang membicarakan tentang fatwa haramnya rokok yang di keluarkan oleh MUI. saya menyaksikannya di kedai-kedai kopi, di angkot, di jalanan atau di manapun saja. Anehnya, mereka membicarakan fatwa haramnya rokok itu sambil menghisap rokoknya masing-masing, nampaknya mereka begitu asyik menikmati rokok-rokok itu. Saya juga sempat melihat seorang pemuda di antara kerumunan teman-temannya, dengan berapi-api membicarakan fatwa haram rokok sambil menghisap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskan asapnya membentuk bulatan-bulatan kecil. Kesimpulan dari apa yang saya saksikan adalah, semuanya kurang setuju dengan fatwa haram MUI. Mereka, seperti juga kebanyakan yang lainnya tetap menganggap rokok sebagai sesuatu yang makruh saja hukumnya. Dengan gaya bicara yang cuek dan nyinyir mereka tidak menghiraukan bahkan terkesan menyepelekan fatwa haram MUI.
Sebetulnya, perdebatan tentang hukum rokok bukanlah kali ini saja terjadi, para ahli agama (Islam) dari dulu sampai sekarang tetap berbeda pendapat tentang masalah hukumnya, tapi kebanyakan mereka menghukumi rokok dalam dua kategori, makruh dan haram. Selain dari hukum yang dua itu saya belum pernah mengetahui lagi hukum yang lainnya, saya juga tidak tahu kalau misal di tempat-tempat yang jauh di zaman sekarang atau suatu hari nanti akan ada ulama yang menghukuminya wajib ataupun sunnah. Bagi saya, rokok adalah termasuk di antara masalah hukum yang tak kan pernah selesai sampai kapanpun di sebabkan tidak ada dalil di dalam Al-Quran maupun Hadits yang memberikan kepastian hukumnya.
Terlebih dahulu ingin saya katakan, bahwa saya adalah termasuk di antara orang yang tidak sepakat dengan apapun fatwa MUI, teristimewa dengan masalah rokok dan golput, tetapi, sebagai orang yang menyukai pemikiran liberal dan toleran saya tetap menghormati fatwa MUI itu sebagai bagian dari corak keberagaman pemikiran dalam lingkungan Islam, saya hanya menganggap MUI sedang bercanda dengan fatwa haramnya itu sebagai bentuk escapisme psikologis MUI dari derasnya badai kritik yang selama ini menghantam mereka.
Sebagaimana telah saya singgung diatas, para ulama berbeda dalam menentukan hukum rokok di antara makruh dan haram. Ulama yang menganggap makruh hukum rokok mengacu pada hadits-hadits yang berhubungan dengan makanan yang menimbulkan bau tidak sedap dan bisa mengganggu orang lain seperti bawang merah dan bawang putih. Bawang merah dan bawang putih adalah makanan yang tidak di sukai Rasulullah tapi beliau tidak sampai mengharamkannya. Beliau hanya menyuruh orang yang makan bawang merah maupun putih untuk membersihkan mulutnya lebih dahulu sebelum masuk ke masjid supaya tidak mengganggu ibadah jamaah yang lain. Para ulama meng-qiyaskan hukum makruh pada rokok dengan bawang mungkin di sebabkan karena kemiripan keduanya yang bisa menyebabkan gangguan terhadap banyak orang. Jika bawang di sebabkan baunya maka rokok di sebabkan oleh asapnya. Sedangkan ulama yang menganggap rokok haram biasanya di dasarkan pada manfaat dan madhorot yang di timbulkan olehnya, menurut ulama yang mengharamkan; rokok di haramkan karena efeknya yang berbahaya pada tubuh manusia, sesuatu yang di anggap membahayakan tubuh di haramkan agama karena ada ayat Quran yang berbunyi; wala tulqu biadikum ilat-tahlukah, jangan kalian menjerumuskan diri kepada kehancuran.
Sekarang mari kita sedikit menela'ah dan mengkritik mereka yang menghukumi rokok dengan predikat haram, sengaja saya tidak menelaah ataupun mengkritik mereka yang menganggap hukum rokok sebagai sesuatu yang makruh karena mungkin itulah hukum yang paling pas untuk masalah rokok, walaupun secara pribadi saya menganggap hukum rokok sebagai mubah saja, berdasar kaidah; al-ashl fil-asy-ya' al-ibahah, pada asalnya hukum segala sesuatu itu adalah mubah. Memang, hukum segala sesuatu adalah mubah jika tidak ada nash yang pasti dan qoth'i dalam Quran maupun Hadits tentang haram atau makruhnya.
Sebagai bahan renungan, saya akan mengutip Hadits Nabi yang berbunyi; ma ahal-lal-lahu fi kitabihi fa-huwa halalun, wa-ma har-rama fa-huwa haramun, wa-ma sakata 'an-hu fa-huwa 'afiah, fa-aqbalu minal-lahil-'afiah, fa-innal-laha lam yakun nasiyya, tsum-ma tala hadzi-hil-ayah; wa-ma kana rabbuka nasiyya, "Apa yang di halalkan Allah dalam kitabnya maka dia adalah halal, dan apa yang di haramkan maka dia adalah haram, sedangkan apa yang di diamkan tentangnya (tidak ada hukumnya) maka dia adalah yang di maafkan, maka terimalah pemafaan dari Allah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa, lalu Nabi membaca ayat: dan tidaklah Tuhanmu lupa (Q : S Maryam : 64)
Berdasarkan hadits di atas, ada 3 hukum yang bisa kita ambil untuk di jadikan pedoman. 1) adalah halal apa yang di halalkan oleh kitab Tuhan sampai kapanpun juga. 2) adalah haram apa yang di haramkan oleh kitab Tuhan sampai kapanpun juga. 3). Sesuatu yang tidak ada hukum tentangnya atau "daerah kemaafan.
Pada ahirnya akan terang benderanglah segala sesuatu jika kita melihat hadits di atas. Rokok adalah sesuatu yang tidak pernah di sebut di dalam kitab Tuhan, secara pasti berarti rokok termasuk dalam lingkaran yang berada di "Daerah kemaafan" yang Tuhan tidak pernah lupa dan akan mengetahui bahwa di suatu hari kelak akan ada sesuatu yang bernama rokok, karena Tuhan mengetahui segala sesuatu hatta tentang sesuatu yang belum dan akan terjadi tentu Tuhan akan dengan jelas mengharamkan hukum rokok dalam kitabnya jika memang rokok adalah haram.
Apakah yang di maksud "Daerah kemaafan"? Daerah kemaafan adalah merupakan ladang yang di berikan Tuhan bagi para ulama untuk mengadakan ijtihadnya masing-masing, terhadap hukum yang belum jelas halal dan haramnya dalam kitab Tuhan. siapapun, termasuk MUI, di berikan kebebasan untuk mengekspresikan pemikirannya berkaitan dengan hukum segala sesuatu yang kini berkembang, tetapi yang perlu di ingat adalah, kesimpulan dari ijtihad tidak boleh berujung pada hukum halal atau haram, karena sekali lagi, baik halal maupun haram adalah sesuatu yang sangat jelas ada dalam kitab Tuhan.
Permasalahan hukum rokok mulai timbul ketika ilmu kedokteran sudah sedemikian maju, banyak di antara dokter yang memberikan keterangan tentang bahaya penyakit yang di akibatkan asap rokok, di antaranya adalah penyakit paru-paru, jantung dan lainnya, tetapi apakah betul bahwa keterangan para dokter itu merupakan kemufakatan mutlak seluruh dokter? Saya menjawabnya; tidak! Kenapa? Izinkan saya menceritakan dulu pengalaman saya ketika saya berkonsultasi dengan seorang dokter yang spesialisasinya mendiagnosa dan mengobati penyakit dalam. Ketika saya datang ke tempat prakteknya, saya lihat dokter itu sedang merokok dan beberapa saat setelah habis dia mengambil lagi sebatang rokok baru untuk di nyalakan lagi. Saya heran dan bertanya padanya; dokter, saya lihat dari tadi anda tidak berhenti merokok, padahal sebagai dokter anda tentu mafhum kalau merokok itu akan mengakibatkan paru-paru menjadi hancur di samping penyakit-penyakit yang lainnya, terlebih lagi bukankah agama mengharamkan sesuatu yang akan berbahaya bagi tubuh? Dokter itu menjawab; Oh tidak betul juga itu, yang namanya penyakit tidak bisa di deteksi gejalanya oleh apa dan darimana, penyakit datangnya langsung dari Tuhan. Buktinya, saya sudah banyak mendiagnosa pasien yang paru-parunya rusak parah padahal mereka tidak merokok, saya juga banyak mendiagnosa pasien yang paru-parunya bersih padahal mereka adalah perokok kelas berat, dokter melanjutkan kata-katanya, contohnya seperti saya sendiri, saya ini adalah perokok kelas berat tapi paru-paru saya fine-fine saja, ok lah jika memang paru-paru yang rusak itu di sebabkan oleh rokok tapi itu bukanlah deteksi dari teori medis, itu hanya anggapan umum sebagian dokter saja. Dokter menyambung lagi; saya katakan pada anda tentang teori medis, anda tahu penyakit kangker kulit? Saya menjawab, iya. Nah, secara teori medis penyakit kangker kulit di sebabkan karena tubuh yang terkena sinar matahari secara langsung dan terus menerus, jika demikian, seharusnya banyak diantara petani kita yang terkena kangker kulit, para petani itu setiap hari terpanggang di bawah terik sinar matahari secara langsung, tapi belum pernah sekalipun saya mendengar atau melihat mereka terkena kangker kulit, mereka tetap segar bugar. Jadi, biar hukum itu adil, ketika merokok di haramkan, bertani juga harusnya di haramkan dong? sebab, secara teori medis kedua-duanya sangat berbahaya bagi tubuh.
Dialog antara saya dan dokter berlangsung beberapa lamanya, sambil sesekali dokter menyodorkan batang-batang rokoknya ke arah saya. Saya yang memang tidak begitu suka rokok dengan terpaksa ikut mengambil dan menyalakan rokok sebagai penghormatan atas ajakannya yang bersahabat. Tidak ada kesimpulan apapun dalam benak saya ketika saya keluar dari ruang dokter itu, cuma dalam perjalanan tiba-tiba saya ingat akan kaidah usul yang telah saya sebutkan di atas: al-ashl fil-asy-ya' al-ibahah.
Ketika pada saat ini hukum rokok marak di perbincangkan, saya jadi teringat akan dokter itu lagi, saya ingin berkonsultasi lagi dengannya, tapi karena kini saya berada di tempat yang jauh, maka keinginan saya hanyalah sebatas kerinduan. Alangkah indah jika saya bertemu dokter itu lagi, merokok bersamanya, sambil tak lupa saya berhayal mengajak MUI bersama KH Ma'ruf Aminnya, Prof Ali Mustofa Ya'kubnya dan pengurus MUI lainnya, bapak-bapak Kiyai mari kita ngrokok bareng yuk! Jangan takut, nanti saya yang traktir, bila perlu nanti pulangnya saya bawakan anda masing-masing 5 bungkus rokok sebagai persediaan untuk rokoan di rumah.
Ahirul kalam, saya yang memang tadinya tidak suka merokok dan bernitat untuk berhenti sama sekali dari segala aktivitas merokok, jadi mengurungkan niat saya. Saya cuma ingin meyakinkan diri bahwa apa yang MUI fatwakan itu bukanlah merupakan suatu kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya, bahkan bisa jadi justru apa yang MUI fatwakan itu adalah merupakan kesalahan yang tidak ada keraguan padanya.
Salam manis selalu untuk MUI. By; Fatur Rafael.