Rabu, 28 Oktober 2009

Kepada al-Quran dan Sunnah Nabi yang mana kita akan kembali?

Judul catatan ini hakikatnya adalah sebuah pertanyaan yang tiada perlu jawaban, biarkan ia menguap di ketebalan dinding-dinding ketidak tahuan dan kelemahan manusia, sebab, jika di jawabpun hanya akan memunculkan ragam jawaban yang tiada pasti benarnya.

Umat Islam yang di pimpin pribadi agung, Muhammad Saaw telah melintasi perjalanan zaman beberapa lama. Telah timbul di dalamnya berbagai macam bentuk pergumulan, pertikaian dan pertengkaran yang kadang berujung saling memerangi dan membunuh satu sama lain, semua bertahan di balik teks ayat suci dan sabda suci yang kian lama kian menjerembabkan mereka dalam bingkai-bingkai penafsiran berselubung gelora hawa nafsu.

Umat Islam kini telah kehilangan jejak sejarah, telah terbagi-bagi menjadi berbagai sekte yang beberapa di antaranya selalu bermusuhan dalam kegelapan selama berabad-abad, di tambah lagi dengan ancaman berbagai gagasan dari luar yang muncul di permukaan yang semakin mengombang ambingkan mereka dalam lautan ketidak pastian.

Tiada di ragukan lagi, dalam situasi di mana masing-masing kelompok menganggap dan merasa mewakili Islam yang sejati, mereka perlu kembali kepada al-Quran, as-Sunnah, dan menyegarkan kembali ingatan kepada sejarah generasi Islam pertama pada awal pertumbuhannya, ya'ni generasi sahabat Nabi. Para sahabat mampu memahami Islam tanpa bantuan unsur-unsur agama yang baru tumbuh setelah masa pewahyuan berahir; filsafat, mistikisme, tradisi, sejarah dan lainnya.

Kendati demikian, tiada pelak tetap saja akan ada pertanyaan yang mengusik, kepada sahabat yang mana kita harus kembali? Kepada al-Quran yang mana kita harus berpegang? Kepada sabda suci riwayat siapa kita harus berpaling?

Apakah kita akan kembali pada al-Qur'an yang di gunakan dalam istana-istana sayyidina Utsman, yang telah menghidupkan kembali aristokrasi Quraisy dan ikut berperan dalam pengusiran Abu Dzar, seorang sahabat besar, dari kota Nabi? Atau apakah kita akan berpegang pada al-Quran yang di bawa Abu Dzar dalam pengasingannya di Gurun Rabadzah dan mati dalam keadaan kesepian? Atau apakah kita akan berpegang pada al-Quran yang tersimpan di dada Imam 'Ali yang kata Nabi al-Quran akan selalu bersama Ali di manapun Ali berada? Atau haruskah kita berpegang pada al-Quran yang telah di pajang di ujung bayonet oleh Amr bin Ash dalam mempertahankan kerajaan rasial dan dalam mendukung dinasti Umayyah yang membeda-bedakan golongan? Kepada sahabat dan al-Quran yang mana kita akan kembali?

Jika acuannya adalah Sunnah Nabi, juga tiada luput dari pertanyaan semacam itu. Sungguh tepat apa yang di katakan Imam Ali ketika beliau menjelaskan tentang hadits-hadits yang di riwayatkan dari Nabi Saaw; sesungguhnya di antara hadits-hadits yang beredar di kalangan orang banyak ada yang haq dan ada yang bathil. Yang benar dan yang bohong. Ada yang benar-benar di hafal dari Rasulullah dan ada juga yang hanya hasil angan-angan orang. Dan telah ada yang berani memalsukan ucapan beliau di masa hidupnya, sehingga Nabi pernah mengancam dengan sabdanya: siapa yang membuat kebohongan tentang aku, hendaknya ia siap-siap mendiami tempatnya di neraka.