Di antara ayat-ayat Tuhan yang aku gandrungi, aku telaah dan aku coba ejawantahkan dalam hidup sehari-hari adalah: sesungguhnya Dialah yang akan mengetahui siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dia pula yang lebih tahu manusia-manusia yang akan mendapat petunjuk.
Ayat di atas terdapat dalam surah al-An'am ayat 117, dengan menggunakan bentuk mudhari' pada kata يضل, yang berma'na akan atau sedang tersesat. sementara dalam beberapa ayat yang lain, ada beberapa yang mirip dengan ayat itu tapi menggunakan bentuk madhi pada kata ضل, yang berarti telah tersesat, sebagaimana dapat di lihat dalam surah an-Najm ayat 30 dan surah Nun ayat 7.
Apapun bentuknya, mudhari' ataukah madhi, tetap hanya Tuhan saja yang tahu siapa yang sedang, akan atau bahkan telah tersesat dari jalanNya. Dialah pemilik mutlak pengetahuan tentang masalah ini, tiada satupun manusia, apapun jenisnya, Ulamakah dia, tokoh agamakah dia, atau apapun dia yang berhak mengklaim kebenaran atas dirinya sekaligus klaim kesalahan atas manusia lain.
Pasti dan betul, bahwa seluruh manusia adalah termasuk dalam kafilah pencari kebenaran, kecuali mereka yang sadar dan berniat menceburkan diri mereka dalam jurang kesesatan.
Karenanya, mengapa pula kita mesti ambil pusing terhadap racauan para pemfitnah itu, jika kita di jadikan tersangka oleh mereka sebagai ahli bid'ah yang sesat? Padahal bisa jadi, para pemfitnah itu justru adalah tersangka sesungguhnya.
Teringatlah aku akan kisah Husain Manshur al-Hallaj, yang tiada mendengar igauan para penggonggong yang menuduhnya sebagai zindik, kafir dan sesat akibat keyakinan jiwanya yang kuat bahwa dia dan Tuhan adalah tunggal, satu dalam tiada keterpisahan. اناالحق.
Akibat keyakinannya bahwa apa yang dia lakukan adalah benar, al-Hallaj tiada kecut menghadapi siksaan para penguasa, rela di cincang-cincang tubuhnya bahkan tetap tersenyum ketika tiang gantungan di dekatkan padanya dan kematian bukanlah lagi sekedar bayangan. Dia dengan lantang meneriakkan bahwa inilah tasawuf sesungguhnya, kemudian mendendanggan sajak tiang gantungan memintakan maaf pada Tuhan terhadap para penyiksanya, yang dia anggap sebagai domba-domba yang buta.
Al-'arif biLlah Junaid al-Baghdadi, ketika di mintai pendapat tentang masalah al-Hallaj, beliau berujar: menurut fiqh al-Hallaj bisa saja di hukum, tapi menurut ajaran kebenaran [mutlak], "siapa pula yang tahu"?
Tidakkah para pemfitnah itu sedikit saja bermoral seperti al-Junaid? Agar tumbuh dalam jiwa mereka kesadaran bahwa, oh iya, masalah sesat dan tidaknya manusia itu merupakan urusan Tuhan. Bukan aku yang mesti memastikan bahwa mereka tersesat atau tidak, kafir atau bukan. Sebab al-Quran tanpa sungkan dan segan menitahkan bahwa فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيلا.