Ibrahim As merupakan nabi yang memiliki kedudukan teramat mulia di sisi Tuhan, ia di juluki dengan khalilullah, sahabat karib Tuhan. Dari jalurnya yang mulia, lahir banyak nabi-nabi yang terkenal dalam sejarah manusia yaitu, Ismail, Ishaq, Ya'qub, Yusuf, Ayyub, Musa, 'Isa 'Alaihim salam, dan puncak dari semuanya adalah baginda nabi Muhammad Saw yang menjadi cincin sekaligus penutup bagi para nabi. Oleh karenanya, Ibrahim juga di juluki dengan abu'l-anbiya' atau bapak para nabi.
Ibrahim As demikian di cintai Tuhan karena kasih sayang dan kedermawanannya pada sesama, sampai-sampai para malaikat begitu kagum dengan kemurahannya, sebuah rekor fantastis adalah ketika Ibrahim As mengurbankan ribuan ekor kambing miliknya untuk di sedekahkan pada mereka yang membutuhkan.
Ibrahim As di tegur Tuhan
Cerminan dari kedermawanan Ibrahim As adalah, ia tidak makan pagi sebelum terlebih dahulu mengumpulkan banyak orang untuk di ajak ikut makan bersamanya. Namun, suatu hari di pagi yang cerah, datang bertamu ke rumah Ibrahim, seorang Majusi yang ingin juga ikut makan bersamanya, demi melihat yang datang adalah seorang Majusi, Ibrahim dengan tegas menolaknya. Ibrahim menyatakan pada Majusi itu bahwa apa yang di hidangkannya hanya untuk mereka yang hanif dan lurus saja, tidak untuk Majusi yang di anggap menyimpang dari ajaran Tuhan. Ahirnya, dengan langkah gontai, Majusi itu berlalu dari rumah Ibrahim dalam keadaan penuh rasa sedih dan kecewa.
Tidak lama berselang, Tuhan menegur apa yang telah di perbuat Ibrahim itu. Wahai Ibrahim, apa hakmu menolak makan dengan Majusi itu, padahal Aku, Tuhan yang maha besar, maha benar, maha memberi rizki tidak pernah membedakan mahluk-Ku, semua Aku kasih rizki, tiada peduli mereka yang Hanif, Majusi dan bahkan mereka yang tidak mempercayai Aku sebagai Tuhanpun tetap Aku beri rizki. Apa maksudmu wahai Ibrahim?
Teguran Tuhan adalah merupakan pelajaran yang amat berharga bagi Ibrahim, setelah kejadian itu, siapapun mereka yang datang ke rumahnya, di terima dengan ramah dan penuh penghormatan, Ibrahim lebih terbuka kepada siapapun daripada sebelumnya.
Adakah tidak patut kita mencontoh Ibrahim wahai kawanku? Ataukah kita tetap mengeraskan jiwa, membengiskan wajah pada mereka yang tidak sehaluan dengan kita? Bahkan pada yang sehaluanpun kerap kali kita tega menginjaknya? Tidakkah kita contoh moral Tuhan yang tiada mengurangi kelembutannya pada mereka yang Atheis?