Alkisah, pada suatu hari, ketika Umar bin Al-Khath-thab di lantik menjadi khalifah mengganti khalifah sebelumnya yang telah mangkat, Abu Bakar Ash-shiddiq. Ketika Umar sedang lantang memaparkan visi dan misi pemerintahannya, tiba-tiba seorang pemuda berdiri sambil menggenggam erat pedang di tangannya, pemuda tersebut berkata tidak kalah lantang dengan perkataan Umar. Pemuda tersebut berkata; wahai khalifah, jika dalam kepemimpinanmu saya lihat ada perilaku anda yang bengkok dan bertentangan dengan jalan yang lurus, maka saya tidak akan segan untuk meluruskan anda dengan pedangku ini, mendengar perkataan pemuda itu, Umar tidak sedikitpun memperlihatkan kemarahan di wajahnya. Umar malah tersenyum dan memuji ketegasan pemuda tersebut yang konsisten terhadap kebenaran sekalipun berhadapan dengan penguasa negara yang memiliki pengawal dan pasukan yang banyak.
Pertanyaannya, adakah di negeri ini pemimpin yang memiliki watak seperti Umar? Sekalipun Umar adalah seorang yang di kenal kasar dan beringas, namun ia tidak sungkan untuk tunduk di bawah telapak kebenaran.
Amat berbeda jauh dengan kebanyakan pemimpin di negeri pancasila ini, negeri yang katanya berada di bawah simbol Ke-Tuhanan yang maha esa, yang katanya rakyatnya di pimpin dengan cara hikmat dan kebijaksanaan, yang katanya keadilan sosial merupakan cita-cita luhurnya. Betapa banyak di sini pemimpin yang sangat anti terhadap kritik, meskipun kritik yang di lontarkan adalah kritik yang bersifat konstruktif, kritik sering di salah pahami sebagai cacian, penghinaan, pelecehan atau bahkan dianggap sebagai pencemaran terhadap nama baik.
Pada masa lalu, ketika negeri yang carut marut ini di pimpin oleh orang yang bernama Soeharto, yang senyumnya senantiasa mengembang namun berjiwa bengis dan biadab. Tidak boleh seorangpun melontarkan kritik padanya kalau tidak ingin hidupnya di rampas, di culik, di buang atau di hilangkan sama sekali jejaknya, dahulu, Indonesia adalah ibarat sangkar raksasa yang tidak boleh bagi siapapun untuk mengepakkan sayapnya, rakyat menjadi laksana burung yang lumpuh, selalu di cekam rasa takut dan merasa bersalah jika berhadapan dengan pemimpin. Setiap lebaran tiba di adakanlah open house di tempat para pejabat, rakyat ber-sowan memohon maaf atas kesalahan yang tidak di lakukannya, sebuah fakta terbalik yang seharusnya tidak di adakan. Sesungguhnya siapa yang telah menerpurukkan negeri ini ke jurang krisis yang tiada ahir ini? Sesungguhnya siapa yang telah menghancurkan tatanan demokrasi yang katanya kepemimpinan tertinggi ada di tangan rakyat? Sesungguhnya siapa yang telah merusak lingkungan, sehingga bencana demi bencana terus menerpa negeri ini? Sesungguhnya, siapa yang gemar sekali melakukan korupsi tanpa peduli rakyat begitu menderita karenanya? Siapa yang serakah sehingga kekayaan negara seolah-olah hanya berada di kantongnya?
Mana itu keadilan sosial? Mana itu ke-Tuhanan yang maha esa? Mana itu kemanusiaan yang adil dan beradab? Mana itu kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan? Mana itu persatuan Indonesia? Omong kosong! Kemunafikan akan tetaplah sebagai kemunafikan sekalipun sentuhannya halus, belaiannya lembut dan sekalipun suara pembawanya berirama syahdu.