Seorang nara sumber dalam sebuah perbincangan tentang permasalahan haji di salah satu stasiun televisi, dengan bangganya mengatakan: saya baru beribadah haji sebanyak 27 kali. 27 kali! itupun dia bilang baru, berarti masih ada kemungkinan angka itu akan bertambah menjadi 28, 35, 50 atau bahkan 150 kali, lebih fantastis lagi jika umur dia sepanjang umur Nuh, mungkin akan ada hitungan yang ke 930 kali.
Hebatkah kedengarannya? Saya rasa tidak, sebab kewajiban haji hanya di wajibkan Tuhan sekali seumur hidup dan Rasulullah Saaw pun hanya melakukan haji satu kali. Sedang yang tersirat dari omongan orang itu adalah rasa bangga diri, berharap orang yang mendengar bisa tercengang, tepukan dada siapa lawan yang telah haji melebihi aku dll yang semuanya astaghfirullahal 'adzim.
Kita tinggalkan kabar yang tiada berguna itu, pada saat yang lain, di tempat-tempat yang lain, ribuan bahkan jutaan orang Islam menitikkan air mata, akibat kerinduan yang tak pernah tercapai untuk dapat berkunjung ke Baitullah al-Haram, dapat thawaf di seputar Ka'bah bersama jutaan teman-teman Islam yang lain, dapat sa'i di antara Shafa dan Marwah atau berkesempatan mencium batu hitam kelam yang di turunkan dari sorga.
Mereka yang hidup sampai kini, mungkin masih ada kesempatan bisa menapaki harumnya tanah-tanah sejarah di Arab sana di suatu hari kelak atas izin Tuhan. Namun tidak sedikit mereka yang telah kehilangan harapan sama sekali untuk dapat pergi ke sana di sebabkan ajal telah terlebih dahulu merenggut. Padahal ketika hidup selalu ada kerinduan abadi di hati mereka, untuk merasakan sebentar menjadi tetangga Rasulullah Saaw sekaligus menjadi tetangga Abu Jahal, namun belenggu kemiskinan ketika hidup telah menghalangi mereka dalam ketidak berdayaan untuk menjadi tetangga sementara bagi siapapun di tanah suci.
Haji sosial
Seorang hamba yang shalih bernama Abdullah ibnu al-Mubarak, tertidur di sela-sela menjalankan ibadah haji pada tahun itu. Dalam tidurnya, dia bermimpi melihat 2 malaikat yang sedang berbincang. Malaikat yang satu bertanya pada yang satunya lagi: berapa jumlah manusia yang melakukan ibadah haji pada tahun ini? Malaikat yang satu menjawab: 20 ribu. Berapakah yang di terima ibadah hajinya? Tidak ada satupun. Yang di terima adalah justru yang tidak berada di sini, dia adalah si fulan yang berada di sebuah daerah anu dan berprofesi sebagai penyemir sepatu.
Abdullah yang sedang tidur nyenyak, demi mendengar perbincangan 2 malaikat itu, bukan kepalang tersentaknya. Bagaimana mungkin mereka yang telah mengarungi berbagai bentuk kesengsaraan untuk dapat beribadah haji, namun semuanya tidak ada yang di terima. Tercenunglah ia, timbul keinginan hatinya untuk menemui sang penyemir sepatu, amalan apa yang menyebabkan dia beroleh karunia yang besar sehingga di terima hajinya padahal dia tidak berhaji?
Tidak lama setelah menyelesaikan rangkaian ibadah hajinya, Abdullah bergegas untuk menuju daerah yang di sebutkan oleh malaikat itu. Rupanya, penyemir sepatu itu merupakan orang yang di kenal di daerah itu, sehingga Abdullah tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat bertemu dengannya.
Tanpa di selingi basa basi yang bertele-tele, di padu dengan rasa penasaran yang menggelora. Abdullah menceritakan mimpinya pada orang itu dan bertanya: wahai fulan, sesungguhnya amalan apa yang membuat engkau mendapat karunia yang besar di sisi Allah? Mendengar cerita dan pertanyaan Abdullah, tertitiklah butir-butir airmata di mata si fulan, lalu menjawab: telah bertahun-tahun lamanya, aku mengumpulkan sedikit demi sedikit uang demi kerinduan untuk berkunjung ke Baitullah, dan pada tahun inilah sekian jumlah uang yang cukup untuk beribadah haji telah aku kumpulkan, aku bertekad dan berniat untuk berangkat haji pada tahun ini. Namun, menjelang keberangkatanku, seorang anak kecil tetanggaku, mengetuk pintu rumahku, mengabarkan kepadaku tentang ibunya yang sakit selama berhari tanpa obat dan makanan. Aku bergegas menuju rumah anak itu dan ku dapati ibunya terbaring dalam penderitaan yang hebat.
Di saat itu terjadi perang berkecamuk dalam batinku untuk menolong atau berangkat haji. Jika aku menolong ibu ini maka akan pupuslah harapan aku berangkat haji sebab uang yang aku kumpulkan betul-betul pas-pasan. Namun jika aku berangkat haji, bagaimana dengan nasib ibu ini? Lama batinku berperang, pada ahirnya aku bergegas pulang dan mengambil uang yang telah lama aku kumpulkan itu, dan kembali ke rumah ibu itu untuk menyerahkan semua uang itu demi meringankan penderitaannya.
Setelah si fulan menyelesaikan ceritanya, Abdullah pun menangis tersedu-sedu, merangkul dan mengucapkan selamat pada si fulan.